Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh
ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualtias, yaitu SDM yang
memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima
disamping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekurangan
gizi dapat merusak bangsa. Tujuan dari analisis adalah untuk mengetahui
kecenderungan masalah gizi dan kesehatan masyarakat serta determinan yang mempengaruhi masalah ini.
Analisis menggunakan data utama dari SUSENAS 1989 sampai
dengan 2003, dan data lainnya yang mempunyai informasi status gizi dan
kesehatan masyarakat. Kajian dilakukan juga berdasarkan perbedaan antar
kabupaten, antar provinsi, serta perbedaan antara perkotaan dan
perdesaan. Cara “Bivariate dan Multivariate” analisis
diaplikasikan pada penulisan ini untuk menjelaskan perubahan status gizi
dan kesehatan masyarakat serta determinannya untuk dapat memberikan
rekomendasi pada kebijakan program perbaikan gizi dan kesehatan
masyarakat dimasa yang akan datang.
Hasil kajian ini secara umum menunjukkan bahwa masalah gizi dan
kesehatan masyarakat masih cukup dominan. Dari indikator kesehatan,
walaupun terjadi peningkatan status kesehatan yang ditandai dengan
meningkatnya umur harapan hidup, dan menurunnya angka kematian bayi dan
balita, akan tetapi masih tercatat sekitar 24% kabupaten/kota dengan
angka kematian bayi (AKB) >50 per 1000 lahir hidup.
Angka Kematian Tinggi Akibat Kekurangan Gizi
Penyebab kematian memasuki tahun 2000 masih didominasi penyakit infeksi dan meningkatnya penyakit sirkulasi dan pernafasan. Masih rendahnya status kesehatan ini antara lain disebabkan karena faktor lingkungan atau tercemarnya lingkungan air dan udara. Disamping itu, faktor perilaku juga berpengaruh untuk terjadinya penyakit kronis, seperti jantung, kanker, dan lain-lain.
Penyebab kematian memasuki tahun 2000 masih didominasi penyakit infeksi dan meningkatnya penyakit sirkulasi dan pernafasan. Masih rendahnya status kesehatan ini antara lain disebabkan karena faktor lingkungan atau tercemarnya lingkungan air dan udara. Disamping itu, faktor perilaku juga berpengaruh untuk terjadinya penyakit kronis, seperti jantung, kanker, dan lain-lain.
Tingginya angka kematian ini juga dampak dari kekurangan gizi pada
penduduk. Mulai dari bayi dilahirkan, masalahnya sudah mulai muncul,
yaitu dengan banyaknya bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR<2.5
Kg). Masalah ini berlanjut dengan tingginya masalah gizi kurang pada
balita, anak usia sekolah, remaja, dewasa sampai dengan usia lanjut.
Hasil kajian lain yang tidak kalah pentingnya adalah semakin jelasnya “fenomena double burden”
yang menimpa penduduk Indonesia terutama di wilayah perkotaan, ditandai
dengan semakin meningkatnya masalah gizi lebih, serta meningkatnya
proporsi ibu dengan gizi lebih yang mempunyai anak pendek atau kurus.
Makalah ini juga mendiskusikan asumsi penurunan masalah gizi sampai
dengan 2015 dengan berbagai alternatif intervensi.
Peningkatan SDM ini untuk masa yang akan datang perlu dilakukan
dengan memperbaiki atau memperkuat intervensi yang ada menjadi lebih
efektif, bermanfaat untuk kelompok sasaran terutama penduduk rawan dan
miskin. Perbaikan kualitas pelayanan kesehatan dan gizi pada penduduk
menjadi prioritas, selain meningkatkan pendidikan dan mengurangi
kemiskinan, terutama pada kabupaten/kota yang tingkat keparahannya
sangat berat.
Pelayanan kesehatan dan gizi untuk yang akan datang juga harus
memperhatikan pertumbuhan penduduk perkotaan yang akan membawa berbagai
masalah lain. Dengan peningkatan kualitas intervensi kepada masyarakat,
diasumsikan penurunan masalah gizi dan kesehatan masyarakat dapat
tercapai.
Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa
ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas,
yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan
kesehatan yang prima di samping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan
teknologi. Kekurangan gizi dapat merusak kualitas SDM.
Pada saat ini, sebagian besar atau 50% penduduk Indonesia dapat
dikatakan tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat, umumnya disebut
kekurangan gizi. Kejadian kekurangan gizi sering terluputkan dari
penglihatan atau pengamatan biasa, akan tetapi secara perlahan berdampak
pada tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka kematian
balita, serta rendahnya umur harapan hidup.
Masa kehamilan merupakan periode yang sangat menentukan kualitas SDM
di masa depan, karena tumbuh kembang anak sangat ditentukan oleh
kondisinya saat masa janin dalam kandungan. Akan tetapi perlu diingat
bahwa keadaan kesehatan dan status gizi ibu hamil ditentukan juga jauh
sebelumnya, yaitu pada saat remaja atau usia sekolah. Demikian
seterusnya status gizi remaja atau usia sekolah ditentukan juga pada
kondisi kesehatan dan gizi pada saat lahir dan balita.
United Nations (Januari, 2000) memfokuskan usaha perbaikan
gizi dalam kaitannya dengan upaya peningkatan SDM pada seluruh kelompok
umur, dengan mengikuti siklus kehidupan. Pada bagan 1 dapat dilihat
kelompok penduduk yang perlu mendapat perhatian pada upaya perbaikan
gizi. Pada bagan 1 ini diperlihatkan juga faktor yang mempengaruhi
memburuknya keadaan gizi, yaitu pelayanan kesehatan yang tidak memadai,
penyakit infeksi, pola asuh, konsumsi makanan yang kurang, dan lain-lain
yang pada akhirnya berdampak pada kematian.
Untuk lebih jelas mengetahui faktor penyebab masalah gizi, bagan 2 di
atas (Unicef, 1998) menunjukkan secara sistimatis determinan yang
berpengaruh pada masalah gizi yang dapat terjadi pada masyarakat.
Sehingga upaya perbaikan gizi akan lebih efektif dengan selalu mengkaji
faktor penyebab tersebut.
Proyeksi Status Gizi Penduduk 2015
Jika status gizi penduduk dapat diperbaiki, maka status kesehatan dapat tercapai. Berikut ini hanya memfokuskan proyeksi status gizi, berdasarkan situasi terakhir 2003 di Indonesia dan dibahas dengan memperhatikan Indonesia Sehat 2010, World Fit for Children 2002, dan Millenium Development Goal 2015. Penurunan status gizi tergantung dari banyak faktor.
Jika status gizi penduduk dapat diperbaiki, maka status kesehatan dapat tercapai. Berikut ini hanya memfokuskan proyeksi status gizi, berdasarkan situasi terakhir 2003 di Indonesia dan dibahas dengan memperhatikan Indonesia Sehat 2010, World Fit for Children 2002, dan Millenium Development Goal 2015. Penurunan status gizi tergantung dari banyak faktor.
Berdasarkan uraian sebelumnya dan juga yang tertuang pada bagan 1 dan bagan 2, penyebab yang mendasar adalah:
o Ketahanan pangan tingkat rumah tangga yang tidak memadai. Kajian
pemantauan konsumsi makanan tahun 1995 sampai dengan 1998, menyimpulkan
(lihat tabel 10): 40-50% rumah tangga mengkonsumsi energi kurang dari
1500 Kkal dan 25% rumah tangga mengkonsumsi protein 32 gram per orang
per hari atau mengkonsumsi <70% dari kecukupan yang dianjurkan.
(Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi/WKNPG, 2000). Berdasarkan SP 2000,
diperkirakan jumlah rumah tangga adalah 51.513.364, berarti masalah
ketahanan pangan melanda 20-25 juta rumah tangga di Indonesia. Walaupun
ada perbaikan pada tahun 2003 terhadap ketahanan pangan rumah tangga,
kajian ini masih menujukkan rasio pengeluaran pangan terhadap
pengeluaran total keluarga yang masih tinggi. Paling tidak Indonesia
masih menghadapi 20% kabupaten di perdesaan dimana rasio ini masih
>75%, dan 63% kabupaten dengan rasio pengeluaran pangan/non pangan
antara 65-75%.
o Ketahanan pangan tingkat rumah tangga ini berkaitan erat dengan
kemiskinan, yang berdasarkan kajian Susenas 2002, diketahui proporsi
penduduk miskin adalah 18.2% atau 38,4 juta penduduk (BPS, 2002).
Sebaran penduduk miskin tingkat kabupaten sangat bervariasi, masih ada
sekitar 15% kabupaten dengan persen penduduk miskin > 30%.
o Ketidak seimbangan antar wilayah (kecamatan, kabupaten) yang
terlihat dari variasi prevalensi berat ringannya masalah gizi, masalah
kesehatan lainnya, dan masalah kemiskinan. Seperti diungkapan pada
uraian sebelumnya bawah ada 75% kabupaten di Indonesia menanggung beban
dengan prevalensi gizi kurang pada balita >20%.
o Tingginya angka penyakit infeksi yang berkaitan dengan sanitasi,
lingkungan, dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai, disertai dengan
cakupan imunisasi yang masih belum universal. Penyakit infeksi penyebab
kurang gizi pada balita antara lain ISPA dan diare. Hasil SDKI tahun
1991, 1994 dan 1997 prevalensi ISPA tidak menurun yaitu masing-masing
10%, 10% dan 9%. Bahkan hasil SKRT 2001 prevalensi ISPA sebesar 17%.
Sedangkan prevalensi diare SDKI 1991, 1994 dan 1997 juga tidak banyak
berbeda dari tahun ketahun yaitu masing-masing 11%, 12% and 10%; dan
hasil SKRT 2001 adalah sebesar 11%.
o Cakupan program perbaikan gizi pada umumnya rendah, banyak Posyandu
yang tidak berfungsi. Pemantauan pertumbuhan hanya dilakukan pada
sekitar 30% dari jumlah balita yang ada.
o Pemberian ASI saja pada umumnya masih rendah, dan adanya
kecenderungan yang menurun dari tahun 1995 ke tahun 2003. Lebih lanjut
pemberian ASI saja sampai 6 bulan cenderung renda, hanya sekitar 15-17%.
Setelah itu pemberian makanan pendamping ASI menjadi masalah dan
berakibat pada penghambatan pertumbuhan.
o Masih tingginya prevalensi anak pendek yang menunjukkan masalah gizi di Indonesia merupakan masalah kronis.
o Masih tingginya angka kematian ibu, bayi dan balita, rendahnya
pendapatan dan rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan indeks SDM
rendah.
o Rendahnya pembiayaan untuk kesehatan baik dari sektor pemerintah
dan non-pemerintah (tahun 2000: Rp 147.0/kapita/tahun), demikian juga
pembiayaan untuk gizi (tahun 2003: Rp 200/kapita/tahun).
Dari besaran masalah gizi 2003 dan penyebab yang multi faktor, maka
dapat diprediksi proyeksi kecenderungan gizi yad seperti berikut:
1. Proyeksi prevalensi gizi kurang pada balita
Dari uraian sebelumnya, penurunan prevalensi gizi kurang pada balita
(berat badan menurut umur) yang dikaji berdasarkan Susenas 1989 sampai
dengan 2003 adalah sebesar 27% atau penurunan prevalensi sekitar 2% per
tahun. Telah banyak intervensi yang dilakukan untuk meningkatkan status
gizi pada balita, antara lain pelayanan gizi melalui Posyandu. Dengan
meningkatkan upaya pelayanan status gizi terutama berkaitan dengan
peningkatan konseling gizi kepada masyarakat, diharapkan terjadi
penurunan prevalensi gizi kurang minimal sama dengan periode sebelumnya
atau sebesar 30%. Pada hasil kajian Susenas 2003, prevalensi gizi kurang
adalah 19,2% dan gizi buruk 8,3%. Dengan asumsi penurunan 30%,
diperkirakan pada tahun 2015 prevalensi gizi kurang menjadi 13,7% dan
prevalensi gizi buruk menjadi 5.7%
2. Proyeksi prevalensi gizi kurang (stunting) pada anak baru masuk sekolah
Perubahan ukuran fisik penduduk merupakan salah satu indikator
keberhasilan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sudah
diketahui bersama bahwa dibanyak negara anak-anak tumbuh lebih cepat
dari 20-30 tahun yang lalu. Mereka tidak hanya matang lebih awal tetapi
juga mencapai pertumbuhan dewasa lebih cepat. Dari beberapa penelitian
yang dilakukan pada beberapa negara, menunjukkan adanya perbedaan tinggi
badan antara kelompok usia 20 tahun dan 60 tahun pada pria maupun
wanita dewasa setinggi kurang lebih 8 cm.
Dinyatakan pula bahwa pada kebanyakan negara sedang berkembang
‘secular trend” dari kenaikan tinggi badan adalah 1 cm untuk setiap
decade semenjak tahun 1850. Perubahan ini sangat erat kaitannya dengan
keadaan lingkungan dan perubahan kualitas hidup manusia.
Di Indonesia penelitian “secular trend” kenaikan tinggi badan
penduduk dari satu waktu tertentu. Informasi yang ada adalah hasil
survei ansional 1978 dan 1992 pada anak balita dari 15 provinsi. Dari
hasil kedua survei tersebut, dinyatakan bahwa ada perubahan rata-rata
tinggi badan sebesar 2,3 cm pada anak laki-laki dan 2,4 cm pada anak
perempuan dalam jangka waktu 14 tahun.
Analisis yang dilakukan pada survei TBABS menunjukkan penurunan prevalensi gizi kurang (stunting)
pada anak baru masuk sekolah tahun 1994-1999 sebesar 3.7%. Stunting
atau pendek merupakan masalah gizi kronis dan pada umumnya penurunan
sangat lambat. Pengalaman kenaikan tinggi badan rata-rata dari generasi
ke generasi pada negara sedang berkembang pada umumnya setinggi 1 cm
dalam periode 10 tahun. Kenaikan tinggi badan rata-rata anak baru masuk
sekolah dari tahun 1994 ke tahun 1999 dalam waktu 5 tahun berkisar
antara 0.1-0.3 cm. Dengan situasi tahun 1999 dengan penurunan hanya 3,7%
dalam kurun waktu 5 tahun, serta menggunakan asumsi yang sama dengan
penurunan prevalensi gizi kurang pada balita, yaitu 40% maka pada tahun
2015 prevalensi stunting pada anak baru masuk sekolah diasumsikan akan
menjadi 24%.
3. Proyeksi KEK pada Wanita Usia Subur
Berdasarkan kajian Susenas 1999-2003, penurunan proporsi risiko KEK
berkisar antara 5-8% dalam kurun waktu 4 tahun tergantung pada kelompok
umur. Kelompok wanita usia subur sampai dengan tahun 2003 belum menjadi
prioritas program perbaikan gizi. Untuk peningkatan status gizi
penduduk, kelompok umur ini terutama pada WUS usia 15 – 19 tahun harus
menjadi prioritas untuk masa yang akan datang. Seperti yang terlihat
pada Figure 10, 35-40% WUS usia 15-19 tahun berisiko KEK.
Intervensi yang dilakukan untuk kelompok umur ini mungkin tidak
terlalu kompleks dibanding intervensi pada balita atau ibu hamil. Akan
tetapi intervensi yang dilakukan akan lebih banyak bermanfaat untuk
membangun sumber daya manusia generasi mendatang. Dengan menggunakan
asumsi penurunan yang terjadi dari tahun 1999 – 2003 untuk kelompok umur
15-19 tahun.
Dengan posisi proporsi resiko KEK 35% pada tahun 2003, pada tahun
2015 asumsinya akan menjadi 20%. Asumsi penurunan proporsi KEK pada
kelompok WUS 15-19 tahun 2015 diharapkan dapat menekan terjadinya BBLR,
menurunkan prevalensi gizi kurang pada balita dan juga mempercepat
kenaikan tinggi badan anak Indonesia.
4. Proyeksi masalah gizi mikro
Masalah gizi mikro yang sudah terungkap sampai dengan tahun 2003
adalah masalah KVA, GAKY dan Anemia Gizi. Masih banyak masalah gizi
mikro lainnya yang belum terungkap akan tetapi berperan sangat penting
terhadap status gizi penduduk, seperti masalah kurang kalsium, kurang
asam folat, kurang vitamin B1, kurang zink.
Mayoritas intervensi yang telah dilakukan untuk mengurangi masalah
KVA, GAKY dan Anemia Gizi di Indonesia masih berkisar pada suplementasi
atau pemberian kapsul vitamin A, kapsul yodium, maupun tablet besi.
Strategi lain yang jauh lebih efektif seperti fortifikasi, penyuluhan
untuk penganekaragaman makanan masih belum dilaksanakan.
Untuk proyeksi masalah gizi mikro sampai dengan tahun 2015 sesuai
dengan informasi yang tersedia sampai dengan tahun 2003 ini hanya dapat
dilakukan untuk masalah KVA, GAKY dan anemia gizi. Data dasar untuk
keseluruhan masalah gizi mikro untuk waktu mendatang perlu dilakukan,
karena informasi untuk kurang kalsium, zink, asam folat, vitamin B1
hanya tersedia dari hasil informasi konsumsi makanan pada tingkat rumah
tangga yang cenderung defrisit dalam makanan sehari-hari.
Pada uraian sebelumnya diketahui masalah KVA pada balita diketahui
hanya dari hasil survei 1992. Pada survei tersebut dinyatakan masalah
xeroftalmia sebagai dampak dari KVA sudah dinyatakan bebas dari
Indonesia, akan tetapi 50% balita masih menderita serum retinal <20
mg, dimana dengan situasi ini akan dapat mencetus kembali munculnya
kasus xeroftalmia. Dari beberapa laporan, kasus xeroftalmia ternyata
sudah mulai muncul kembali, terutama di NTB.
Pemberian kapsul vitamin A pada balita diasumsikan belum mencapai
seluruh balita. Intervensi KVA dengan distribusi kapsul vitamin A dosis
tinggi untuk 5 tahun kedepan masih dianggap perlu, selain strategi lain (fortifikasi, penyuluhan, dan penganekaragaman makanan)
mulai diintensifkan. Diharapkan dengan “multiple strategy” 50% KVA pada
balita dapat ditekan menjadi 25% pada tahun 2015, atau penurunan 50%.
Tahun 2003 ini sudah dilakukan evaluasi penanggulangan GAKY untuk
mengetahui prevalensi GAKY setelah informasi terakhir adalah 9,8% pada
tahun 1996/1998. pada tahun 1996 diasumsikan prevalensi GAKY akan
diturunkan sekurang-kurangnya 50% pada tahun 2003 setelah intensifikasi
proyek penanggulangan GAKY (IP-GAKY) 1997-2003.
Akan tetapi, penurunan ini secara nasional tidak terjadi, masih
banyak masalah yang belum teratasi secara tuntas dalam penanggulangan
ini, antara lain konsumsi garam beryodium tingkat rumah tangga masih
belum universal (SUSENAS 2003 menunjukkan hanya 73% rumah tangga
mengkonsumsi garam beryodium).
Selain itu pemantauan pemberian kapsul yodium pada daerah endemik
berat dan sedang tidak diketahui sampai sejauh mana kapsul ini diberikan
pada kelompok sasaran. Mengingat masalah GAKY sangat erat kaitannya
dengan kandungan yodium dalam tanah, pada umumnya prevalensi GAKY pada
penduduk yang tinggal di daerah endemik berat dan sedang dapat menurun
setelah intervensi kapsul yodium dalam periode tertentu dan akan membaik
jika konsumsi garam beryodium dapat universal.
Akan tetapi jika pemberian kapsul tidak tepat sasaran dan garam
beyodium tidak bisa universal, prevalensi GAKY ada kemungkinan akan
meningkat lagi. Dengan kondisi ini, ada kemungkinan prevalensi GAKY
tidak bisa seratus persen ditanggulangi dalam kurun waktu 12 tahun
kedepan (sampai dengan 2015). Diharapkan TGR pada tahun 2015 dapat
ditekan menjadi kurang dari 5%.
Penanggulangan anemia sampai dengan 2002 masih difokuskan pada ibu
hamil. Seperti yang diungkapkan pada uraian sebelumnya prevalensi anemia
pada ibu hamil menurun dari 50,9% (1995) menjadi 40% (2001).
Penanggulangan anemia untuk yang akan datang diharapkan tidak saja untuk
ibu hamil, akan tetapi juga untuk wanita usia subur dalam rangka
menekan angka kematian ibu dan meningkatkan produktivitas kerja.
Angka prevalensi anemia pada WUS menurut SKRT 2001 adalah 27,1%.
Diproyeksikan angka ini menjadi 20% pada tahun 2015. Asumsi penurunan
hanya sekitar 30% sampai dengan 2015, karena sampai dengan tahun 2002,
intervensi penanggulangan anemia pada WUS masih belum intensif.
Asumsi penurunan prevalensi masalah gizi ini perlu disempurnakan
dengan memperhatikan angka kecenderungan kematian, pola penyakit,
tingkat konsumsi, pendapatan dan pendidikan. Selain itu sampai dengan
tahun 2003, masih banyak masalah gizi yang belum terungkap terutama
berkaitan dengan masalah gizi mikro lainnya yang mempunyai peran penting
dalam perbaikan gizi secara menyeluruh.
Program Perbaikan Gizi Dan Kesehatan Masa Depan
Berangkat dari besarnya masalah gizi dan kesehatan serta
bervariasinya faktor penyebab masalah ini antar wilayah, maka diperlukan
program yang komprehensif dan terintegrasi baik di tingkat kabupaten,
provinsi, maupun nasional. Jelas sekali kerja sama antar sektor terkait
menjadi penting, selain mengurangi aktivitas yang tumpang tindih dan
tidak terarah.
Berikut ini merupakan pemikiran untuk program yang akan datang, antara lain:
1. Banyak hal yang harus diperkuat untuk melaksanakan program
perbaikan gizi, mulai dari ketersediaan data dan informasi secara
periodik untuk dapat digunakan dalam perencanaan program yang benar dan
efektif. Kajian strategi program yang efisien untuk masa yang datang
mutlak diperlukan, mulai dari tingkat nasional sampai dengan kabupaten.
2. Melakukan penanggulangan program perbaikan gizi dan kesehatan yang
bersifat preventif untuk jangka panjang, sementara kuratif dapat
diberikan pada kelompok masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Bentuk
program efektif seperti perbaikan perilaku kesehatan dan gizi tingkat
keluarga dilakukan secara professional mulai dipikirkan, dan tentunya
dengan ketentuan atau kriteria yang spesifik lokal.
3. Melakukan strategi program khusus untuk penanggulangan kemiskinan,
baik di daerah perkotaan maupun perdesaan dalam bentuk strategi
pemberdayaan keluarga dan menciptakan kerja sama yang baik dengan
swasta.
4. Secara bertahap melakukan peningkatan pendidikan, strategi ini
merupakan strategi jangka panjang yang dapat mengangkat Indonesia dari
berbagai masalah gizi dan kesehatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar