Jumat, 16 Desember 2011

laporan pendahuluan dengan pasien syndrome nefrotik


RAWATLAH KLIEN DENGAN HATI YANG CERIA DAN IKHLAS DENGAN PELAYANAN PRIMA!! ]
"Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu maka takutlah ke pada-Nya (Al-Baqarah:235)"

Senin, 16 Juni 2008

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN SINDROM NEFROTIK

KONSEP DASAR
  1. Pengertian
Sindrom nefrotik adalah kumpulan gejala klinis yang timbul dari kehilangan protein karena kerusakan glomerulus yang difus. (Luckmans, 1996 : 953).
Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia kadang-kadang terdapat hematuria, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal. (Ngastiyah, 1997).
  1. Etiologi
Sebab penyakit sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi:
  1. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua pengobatan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa neonatus namun tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
  1. Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh:
    1. Malaria kuartana atau parasit lain.
    2. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.
    3. Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombisis vena renalis.
    4. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah, racun oak, air raksa.
    5. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif hipokomplementemik.
  1. Sindrom nefrotik idiopatik ( tidak diketahui sebabnya )
Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk membagi dalam 4 golongan yaitu: kelainan minimal,nefropati membranosa, glumerulonefritis proliferatif dan glomerulosklerosis fokal segmental.
  1. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang muncul pada anak yang mengalami Sindrom nefrotik adalah:
  1. Oedem umum ( anasarka ), terutama jelas pada muka dan jaringan periorbital.
  2. Proteinuria dan albuminemia.
  3. Hipoproteinemi dan albuminemia.
  4. Hiperlipidemi khususnya hipercholedterolemi.
  5. Lipid uria.
  6. Mual, anoreksia, diare.
  7. Anemia, pasien mengalami edema paru.
  1. Klasifikasi
Whaley dan Wong (1999 : 1385) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:
    1. Sindrom Nefrotik Lesi Minimal ( MCNS : minimal change nephrotic syndrome).
Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia sekolah. Anak dengan sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya terlihat hampir normal bila dilihat dengan mikroskop cahaya.

    1. Sindrom Nefrotik Sekunder
Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus sistemik, purpura anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi system endokarditis, bakterialis dan neoplasma limfoproliferatif.
    1. Sindrom Nefrotik Kongenital
Factor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif autosomal. Bayi yang terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala awalnya adalah edema dan proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap semua pengobatan dan kematian dapat terjadi pada tahun-yahun pertama kehidupan bayi jika tidak dilakukan dialysis.
  1. Patofisiologi
Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah proteinuria sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder. Kelainan ini disebabkan oleh karena kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang sebabnya belum diketahui yang terkait dengan hilannya muatan negative gliko protein dalam dinding kapiler. Pada sindrom nefrotik keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan protein yang sebelumnya terjadi filtrasi protein didalam tubulus terlalu banyak akibat dari kebocoran glomerolus dan akhirnya diekskresikan dalam urin. (Husein A Latas, 2002 : 383).
Pada sindrom nefrotik protein hilang lebih dari 2 gram perhari yang terutama terdiri dari albumin yang mengakibatkan hipoalbuminemia, pada umumnya edema muncul bila kadar albumin serum turun dibawah 2,5 gram/dl. Mekanisme edema belum diketahui secara fisiologi tetapi kemungkinan edema terjadi karena penurunan tekanan onkotik/ osmotic intravaskuler yang memungkinkan cairan menembus keruang intertisial, hal ini disebabkan oleh karena hipoalbuminemia. Keluarnya cairan keruang intertisial menyebabkan edema yang diakibatkan pergeseran cairan. (Silvia A Price, 1995: 833).
Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri menurun dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif, sehingga mengakibatkan penurunan volume intravaskuler yang mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi ginjal. Hal ini mengaktifkan system rennin angiotensin yang akan meningkatkan konstriksi pembuluh darah dan juga akan mengakibatkan rangsangan pada reseptor volume atrium yang akan merangsang peningkatan aldosteron yang merangsang reabsorbsi natrium ditubulus distal dan merangsang pelepasan hormone anti diuretic yang meningkatkan reabsorbsi air dalam duktus kolektifus. Hal ini mengakibatkan peningkatan volume plasma tetapi karena onkotik plasma berkurang natrium dan air yang direabsorbsi akan memperberat edema. (Husein A Latas, 2002: 383).
Stimulasi renis angiotensin, aktivasi aldosteron dan anti diuretic hormone akan mengaktifasi terjadinya hipertensi. Pada sindrom nefrotik kadar kolesterol, trigliserid, dan lipoprotein serum meningkat yang disebabkan oleh hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, dan terjadinya katabolisme lemak yang menurun karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma. Hal ini dapat menyebabkan arteriosclerosis. (Husein A Latas, 2002: 383).


  1. Pathways
idiopatik
Reaksi auto imun
Penyakit sekunder

Tekanan hidrostatik
Tekanan
Osmotic plasma
Transudasi air dan elektrolit ke ruang intertisiil
edema
Sel terjepit
Gangguan metabolisme sel
Stimulasi jaringan tubuler
kelelahan
Intoleransi
aktivitas
Aktivasi mekanisme renin angiotensin
Stimulasi duktus kolektifus



Aktivasi mekanisme renin angiotensin
Stimulasi jaringan tubuler
Stimulasi duktus kolektifus
Kontriksi pembuluh darah
Reabsorbsi Na
Reabsorbsi
air
oliguri
hipertesi
Edema anasarka
immobilitas
Penekanan lama pada tubuh
Gg. Integritas kulit
bedrest
Sulit bergerak
Perubahan penampilan
Intoleransi aktivitas
Gg. Body image
Retensi cairan diseluruh tubuh
Kelebihan volume cairan
Paru-paru
Ekspansi dada dan paru
Ventilasi tidak adekuat
Sesak nafas
Perubahan pola nafas
Abdomen
Menekan gaster
Mual, muntah
anoreksia
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
Edema disaluran pencernaan
usus
Absorbsi tidak adekuat
Gg. Pola eliminasi diare

  1. Pemeriksaan Penunjang
  1. Laboratorium
    1. Urine
Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguria). Warna urine kotor, sediment kecoklatan menunjukkan adanya darah, hemoglobin, mioglobin, porfirin.
    1. Darah
Hemoglobin menurun karena adanya anemia. Hematokrit menurun. Natrium biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi. Kalium meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah merah). Klorida, fsfat dan magnesium meningkat. Albumin <>
  1. Biosi ginjal dilakukan untuk memperkuat diagnosa.
  1. Penatalaksanan
  1. Diperlukan tirah baring selama masa edema parah yang menimbulkan keadaan tidak berdaya dan selama infeksi yang interkuten. Juga dianjurkan untuk mempertahankan tirah baring selama diuresis jika terdapat kehilangan berat badan yang cepat.
  2. Diit. Pada beberapa unit masukan cairan dikurangi menjadi 900 sampai 1200 ml/ hari dan masukan natrium dibatasi menjadi 2 gram/ hari. Jika telah terjadi diuresis dan edema menghilang, pembatasan ini dapat dihilangkan. Usahakan masukan protein yang seimbang dalam usaha memperkecil keseimbangan negatif nitrogen yang persisten dan kehabisan jaringan yang timbul akibat kehilangan protein. Diit harus mengandung 2-3 gram protein/ kg berat badan/ hari. Anak yang mengalami anoreksia akan memerlukan bujukan untuk menjamin masukan yang adekuat.
  3. Perawatan kulit. Edema masif merupakan masalah dalam perawatan kulit. Trauma terhadap kulit dengan pemakaian kantong urin yang sering, plester atau verban harus dikurangi sampai minimum. Kantong urin dan plester harus diangkat dengan lembut, menggunakan pelarut dan bukan dengan cara mengelupaskan. Daerah popok harus dijaga tetap bersih dan kering dan scrotum harus disokong dengan popok yang tidak menimbulkan kontriksi, hindarkan menggosok kulit.
  4. Perawatan mata. Tidak jarang mata anak tertutup akibat edema kelopak mata dan untuk mencegah alis mata yang melekat, mereka harus diswab dengan air hangat.
  5. Kemoterapi:
  • Prednisolon digunakan secra luas. Merupakan kortokisteroid yang mempunyai efek samping minimal. Dosis dikurangi setiap 10 hari hingga dosis pemeliharaan sebesar 5 mg diberikan dua kali sehari. Diuresis umumnya sering terjadi dengan cepat dan obat dihentikan setelah 6-10 minggu. Jika obat dilanjutkan atau diperpanjang, efek samping dapat terjadi meliputi terhentinya pertumbuhan, osteoporosis, ulkus peptikum, diabeters mellitus, konvulsi dan hipertensi.
  • Jika terjadi resisten steroid dapat diterapi dengan diuretika untuk mengangkat cairan berlebihan, misalnya obat-abatan spironolakton dan sitotoksik ( imunosupresif ). Pemilihan obat-obatan ini didasarkan pada dugaan imunologis dari keadaan penyakit. Ini termasuk obat-obatan seperti 6-merkaptopurin dan siklofosfamid.
  1. Penatalaksanaan krisis hipovolemik. Anak akan mengeluh nyeri abdomen dan mungkin juga muntah dan pingsan. Terapinya dengan memberikan infus plasma intravena. Monitor nadi dan tekanan darah.
  2. Pencegahan infeksi. Anak yang mengalami sindrom nefrotik cenderung mengalami infeksi dengan pneumokokus kendatipun infeksi virus juga merupakan hal yang menganggu pada anak dengan steroid dan siklofosfamid.
  3. Perawatan spesifik meliputi: mempertahankan grafik cairan yang tepat, penimbnagan harian, pencatatan tekanan darah dan pencegahan dekubitus.
  4. Dukungan bagi orang tua dan anak. Orang tua dan anak sering kali tergangu dengan penampilan anak. Pengertian akan perasan ini merupakan hal yang penting. Penyakit ini menimbulkan tegangan yang berta pada keluarga dengan masa remisi, eksaserbasi dan masuk rumah sakit secara periodik. Kondisi ini harus diterangkan pada orang tua sehingga mereka mereka dapat mengerti perjalanan penyakit ini. Keadaan depresi dan frustasi akan timbul pada mereka karena mengalami relaps yang memaksa perawatan di rumahn sakit.
  1. ASUHAN KEPERAWATAN
  1. Pengkajian
        • Lakukan pengkajian fisik, termasuk pengkajian luasnya edema.
        • Kaji riwayat kesehatan, khususnya yang berhubungan dengan adanya peningkatan berat badan dan kegagalan fungsi ginjal.
        • Observasi adanya manifestasi dari Sindrom nefrotik : Kenaikan berat badan, edema, bengkak pada wajah ( khususnya di sekitar mata yang timbul pada saat bangun pagi , berkurang di siang hari ), pembengkakan abdomen (asites), kesulitan nafas ( efusi pleura ), pucat pada kulit, mudah lelah, perubahan pada urin ( peningkatan volum, urin berbusa ).
        • Pengkajian diagnostik meliputi meliputi analisa urin untuk protein, dan sel darah merah, analisa darah untuk serum protein ( total albumin/globulin ratio, kolesterol ) jumlah darah, serum sodium.
  1. Prioritas Diagnosa Keperawatan
  • Kelebihan volume cairan b. d. penurunan tekanan osmotic plasma. ( Wong, Donna L, 2004 : 550)
  • Perubahan pola nafas b.d. penurunan ekspansi paru.(Doengoes, 2000: 177)
  • Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia. (Carpenito,1999: 204)
  • Resti infeksi b.d. menurunnya imunitas, prosedur invasif (Carpenito, 1999:204).
  • Intoleransi aktivitas b.d. kelelahan. (Wong, Donna L, 2004:550)
  • Gangguan integritas kulit b.d. immobilitas.(Wong,Donna,2004:550)
  • Gangguan body image b.d. perubahan penampilan. (Wong, Donna, 2004:553).
  • Gangguan pola eliminasi:diare b.d. mal absorbsi.
  1. Perencanaan Keperawatan
    Kelebihan volume cairan b. d. penurunan tekanan osmotic plasma. ( Wong, Donna L, 2004 : 550)
Tujuan: tidak terjadi akumulasi cairan dan dapat mempertahankan keseimbangan intake dan output.
KH: menunjukkan keseimbangan dan haluaran, tidak terjadi peningkatan berat badan, tidak terjadi edema.
Intervensi:
  • Pantau, ukur dan catat intake dan output cairan
  • Observasi perubahan edema
  • Batasi intake garam
  • Ukur lingkar perut
  • timbang berat badan setiap hari
Perubahan pola nafas b.d. penurunan ekspansi paru.(Doengoes, 2000: 177)
kolaborasi pemberian obat-obatan sesuai program dan monitor efeknya
Tujuan: Pola nafas adekuat
KH: frekuensi dan kedalaman nafas dalam batas normal
Intervensi:
    1. auskultasi bidang paru
    2. pantau adanya gangguan bunyi nafas
    3. berikan posisi semi fowler
    4. observasi tanda-tanda vital
    5. kolaborasi pemberian obat diuretik

      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia. (Carpenito,1999: 204)
Tujuan: kebutuhan nutrisi terpenuhi
KH: tidak terjadi mual dan muntah, menunjukkan masukan yang adekuat, mempertahankan berat badan
Intervensi:
  1. tanyakan makanan kesukaan pasien
  2. anjurkan keluarga untuk mrndampingi anak pada saat makan
  3. pantau adanya mual dan muntah
  4. bantu pasien untuk makan
  5. berikan makanan sedikit tapi sering
  6. berikan informasi pada keluarga tentang diet klien

    Resti infeksi b.d. menurunnya imunitas, prosedur invasif. (Carpenito, 1999:204).
Tujuan: tidak terjadi infeksi
KH: tidak terdapat tanda-tanda infeksi, tanda-tanda vitl dalam batas normal, leukosit dalam batas normal.
Intervensi:
  1. cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan
  2. pantau adanya tanda-tanda infeksi
  3. lakukan perawatan pada daerah yang dilakukan prosedur invasif
  4. anjurkan keluarga untuk mrnjaga kebersihan pasien
  5. kolaborasi pemberian antibiotik

    Intoleransi aktivitas b.d. kelelahan. (Wong, Donna L, 2004:550)
Tujuan: pasien dapat mentolerir aktivitas dan mrnghemat energi
KH: menunjukkan kemampuan aktivitas sesuai dengan kemampuan, mendemonstrasikan peningkatan toleransi aktivitas
Intervensi:
  1. pantau tingkat kemampuan pasien dalan beraktivitas
  2. rencanakan dan sediakan aktivitas secara bertahap
  3. anjurkan keluarga untuk membantu aktivitas pasien
  4. berikan informasi pentingnya aktivitas bagi pasien

    Gangguan integritas kulit b.d. immobilitas.(Wong,Donna,2004:550)
Tujuan: tidak terjadi kerusakan integritas kulit
KH: integritas kulit terpelihara, tidak terjadi kerusakan kulit
Intervensi:
  1. inspeksi seluruh permukaan kulit dari kerusakan kulit dan iritasi
  2. berikan bedak/ talk untuk melindungi kulit
  3. ubah posisi tidur setiap 4 jam
  4. gunakan alas yang lunak untuk mengurangi penekanan pada kulit.
              1. Gangguan body image b.d. perubahan penampilan. (Wong, Donna, 2004:553).
Tujuan: tidak terjadi gangguan boby image
KH: menytakan penerimaan situasi diri, memasukkan perubahan konsep diri tanpa harga diri negatif
Intervensi:
  1. gali perasaan dan perhatian anak terhadap penampilannya
  2. dukung sosialisasi dengan orang-orang yang tidak terkena infeksi
  3. berikan umpan balik posotif terhadap perasaan anak
              1. Gangguan pola eliminasi:diare b.d. mal absorbsi.
Tujuan: tidak terjadi diare
KH: pola fungsi usus normal, mengeluarkan feses lunak
Intervensi:
  1. observasi frekuensi, karakteristik dan warna feses
  2. identifikasi makanan yang menyebabkan diare pada pasien
  3. berikan makanan yang mudah diserap dan tinggi serap.

DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2003. Medical Surgical Nursing (Perawatan Medikal Bedah), alih bahasa: Monica Ester. Jakarta : EGC.
Carpenito, L. J.1999. Hand Book of Nursing (Buku Saku Diagnosa Keperawatan), alih bahasa: Monica Ester. Jakarta: EGC.
Doengoes, Marilyinn E, Mary Frances Moorhouse. 2000. Nursing Care Plan: Guidelines for Planning and Documenting Patient Care (Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien), alih bahasa: I Made Kariasa. Jakarta: EGC.
Donna L, Wong. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Anak, alih bahasa: Monica Ester. Jakarta: EGC.
Husein A Latas. 2002. Buku Ajar Nefrologi. Jakarta: EGC.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Price A & Wilson L. 1995. Pathofisiology Clinical Concept of Disease Process (Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit), alih bahasa: Dr. Peter Anugrah. Jakarta: EGC.

makalah bedah jantung


D A F T A R   I S I
PRAKATA ……………………………………………………………        …….i
D A F T A R   I S I ………………………………........................................ii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang ............................................................................................................1
1.2  Tujuan Penulisan ……………………………………………………………………1
1.3  Manfaat Penulisan …………………………………………………………………..1
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Pintasan Jantung Paru ……………………………………………...........................1
2.2 Transplantasi Jantung …………..……………………………………...…………...4
2.3 Coronary Artery Bypass Graft (CABG)/
Tandur Bypass Arteri Koroner (TBAK) ………………...........…………...………..…9
2.4 Alat Bantu Mekanis dan Jantung Bantuan Buatan Total ……………...……….14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................14
3.2 Saran ..........................................................................................................................14
D A F T A R    P U S T A K A ....................................................................................... 15




BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pasien dengan penyakit jantung dan komplikasi yang menyertainya dpat dibantu  untuk mencapai kualitas hidup yang lebih besar dari yang diperkirakan sepuluh tahun silam. Dengan prosedur diagnostic yang canggih yang memungkina diagnostig dimulai lebih awal dan lebih akurat menyebabkan penangan dapat dilakukan jauh sebelum terjadi kelemahan yang berarti. Penaganan dengan teknologi dan farmakoterapi yang baru terus dikembankan dengan cepat dan dengan keamanan yang semakin meningkat, yaitu dengan betah jantung.
Pembedahan jantung pertama yang berhasil, penutupan luka tusuk ventrikel kanan, talah dilakukan di tahun 1895 oleh ahli bedah Italia de Vechi. Di Amerika Serikat pembedahan serupa yang sukses, juga penutupan luka tusuk, dilakukan di tahun 1902. Diikuti oleh pembedahan katup di tahun 1923 dan 1925, penutupan duktus paten di tahun 1937 dan 1938, dan reseksi koar koarktasi aorta pada tahun 1944. Era baru tandur pinatsan arteri koroner bermula di tahun 1954.
Perkembangan yang paling revolusioner dalam perkembangan pembedahan jantung adlah teknis pintasan jantung/paru pertam kali digunakan dengan berhasil pada manusia di than 1951. Di masa kini lebih dari 250.000 prosedur yang dilakukan dengan menggunakan pintasan jantung paru. Terbanyak (lebih dari 200.000) dilakukan di Amerika Utara. Kebanyakan prosedur adalah graft pintasa arteri koroner (CABG = Coronary Artery Bypass Graft) dan perbaikan atau penggantian katup.
Kemajuan dalam diagnostik, penatalaksanaan medis, teknik bedah dan anestesia, dan pintasan jantung paru, dan juga perawatan yang diberikan di unit perawatan kritis serta program rehabilitasi telah banyak membantu pembedahan menjadi pilihan penanganan yang aman untuk pasien dengan penyakit jantung.
1.2  Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan ini adalah untuk :
1.2.1        Mengetahui secara umum sejarah perkembangan bedah jantung
1.2.2        Mengetahui macam-macam tindakan bedah jantung
1.3  Manfaat Penulisan
1.3.1        Bagi Penulis
Sebagai tugas pembelajaran perkuliahan keperawatan medical bedah mengenai bedah jantung.
1.3.2        Bagi Pembaca
Sebagai informasi dalam perkuliahan keperawatan medical bedah mengenai bedah jantung.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Pintasan Jantung Paru
            Banyak prosedur bedah jantung bisa dijalankan karena adanya pintasan jantung-paru (sirkulasi ekstrakorponeal). Prosedur ini merupakan alat mekanis untuk sirkulasi dan oksigenasi darah untuk seluruh tubuh pada saat “memintas” jantung dan paru. Mesin jantung-panu memungkinkan dicapainya medan openasi yang bebas darah Sementara perfusi tetap dapat dipertahankan untuk jaringan dan organ lain di tubuh.
Pintasan jantung-paru dilakukan dengan memasang kanula di atrium kanan, vena kava, atau vena femoralis untuk mengeringkan darah dari tubuh. Kanula kemudian dihubungkan ke tabung yang berisi larutan kristaloid isotonik (biasanya dekstrosa 5% dalam larutan Ringer laktat). Darah vena yang terambil dari tubuh dan kanula tadi disaring, dioksigenasi, didinginkan atau dihangatkan. dan kemudian dikembalikan ke tubuh. Kanula yang diper gunakan uniuk mengembalikan darah teroksigenasi biasanya dimasukkan ke aorta asendens, tapi bisa jugs dimasukkan ke arteri femoralis.
Meskipun pintasan jantung-paru merupakan teknik yang biasa pada pembedahan jantung, namun sebenarna sangat kompleks. Pasien memerlukan antikoagulan dengan hatiin untuk rnencegah pembentukan trombus dan kemungkinan embolisasi yang dapat terjadi ketika danah berhubungan dengan permukaan asing sirkuit pintasan jantung-paru dan dipompakan ke tubuh dengan pompa mekanis (bukan pembuluh darah dan jantung normal) Setelah dibebaskan dari mesin pintasan, pasien diberikan protamin sullal untiuk menangkal efek heparin.
Selama dilakukannya prosedur ini, tubuh dijaga agar selalu dalam keadaan hipotermia, biasanya 28°C sampai 32°C(82,4°F sampai 89,6°F). Darah didinginkan selama pintasan jantung paru dan dikembalikan ke tubuh. Darah yang didinginkan tersebut akan menurunkan kecepatan metabolisme basal, sehingga kebutuhan akan oksigen juga berkurang. Darah yang dingin biasanya mempunyai kekentalan yang tinggi, namun larutan kristaloid yang digunakan untuk mengisi tabung akan mengencerkan darah tadi Ketika prosedur pembedahan telah selesai, darah dihangatkan kembali di dalam sirkuit pintasan jantung-paru.
Haluaran urin, tekanan darah, gas darah arteri, elektrolit, uji pembekuan darah, dan elektrokardiograrn (EKG) semuanya dipakai untuk memantau status pasien selama pintasan jantung-paru. Masih banyak hal yang harus dipelajari mengenai pintasan jantung paru. Ada berbagai sirkuit pintasan dan mekanisme pensompaan yang digunakan pada masa kini. Sampai saat ini masih terus diusahakan agan pasien bisa lebih lama berada dalam mesin pintasan jantung-paru dengan lebih aman. Penelitian terus dilakukan untuk memperbaiki mesin pintasan jantung paru untuk mencegah atau meminimalkan masalah-masalah berikut: hemolisis, peningkatan permeabilitas memhran kapiler dan kehilangan elektrolit, hipoksia dan anoksia jaringan, pembentukan trombus atau emboli. diseksi jantung dan pembuluh danah, meningkatnya ketekolamin dan hormon antidiuretik (ADH), dan respons inflamasi sistemik yang merupakan komplikasi prosedur itu.
(Gambar menyusul)
2.2 Transplantasi Jantung
            Transplantasi dari manusia ke manusia, pertama kali dilakukan di tahun 1967. sejak itu prosedur, peralatan dan pengobatan transplantasi terus dikembangkan. Di tahun 1983, sikosporin sudah tersedia untuk penggunaan umum. Siklosporin adalah imunosupresan yang menekan dengan kuat kemampuan tubuh menolak protein asing seperti, organ yang ditransplansikan. Sayangnya siklosporin juga menurunkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi, sehingga harus diperoleh keseimbangan yang sangat baik antara penekanan penolakan dan pencegahan infeksi. Sejak tersedianya siklosporin di tahun 1983, transplantasi jantung telah menjadi terapi pilihan bagi pasien dengan penyakit jantung tahap akhir.
2.2.1 Indikasi Transplantasi Jantung
·         kardiomiopati
·         penyakit jantung iskemik
·         penyakit jantung kongenital
·         penyakit katup dan
·         penolakan transplantasi jantung sebelumnya
2.2.2 Kriteria Seleksi
Resipien transplantasi jantung yang memenuhi kriteria seleksi menjalani pemeriksaan klinis dan psikologis yang terperinci. Dengan semakin luasnya penerapan prosedur ini, keputusan untuk menentukan siapa yang berhak menjalani ttansplantasi jantung menjadi semakin kontroversial. Tersedianya donor tetap merupakan faktor pembatas. Akibatnya, begitu diputuskan untuk melakukan transpiantasi, maka timbul masalah dalam menentukan prioritas antara satu dengan yang lain. Penentuan yang lebih sulit lagi adalah untuk menentukan prioritas di antara pasien pengguna VADs dan jantung buatan sebagai jembatan untuk dilakukannya transplantasi.

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan komplikasi setelah operasi atau memengaruhi kelangsungan hidup jangka panjang harus disingkirkan. Faktor-faktor ini mencakup penyakit atau infeksi sistemik aktif, hipertensi pulmonalis dengan resistensi vaskular paru yang menetap (lebih dan 4 satuan Wood), emboli atau infark paru, ulkus peptikum yang aktif, diabetes melitus bergantung insulin dengan penyakit sekunder pada organ lain, gagal ginjal atau hati yang ireversibel, peminum alkohol atau pecandu obat-obatan. Hal-hal yang tidak nyata, seperti motivasi untuk melakukan rehabilitasi, dukungan keluarga, dan keadaan psikologis, juga harus dipertimbangkan. Dengan makin luasnya penggantian oleh asuransi, masalah keuangan pribadi menjadi semakin kurang berarti untuk proses seleksi. Apabila diidentifikasi tidak terdapat kontraindikasi, maka dapat dimulai proses pencarian donor.
Donor potensial biasanya adalah korban kecelakaan tasiusia muda yang tidak mengalami kerusakan jantung atau penyakit jantung yang jelas dan tidak ada infeksi sistemik. Pencocokan jaringan donor terhadap resipien meliputi pencocokan sistem ABO. Pencocokan berat tubuh yang sesuai juga penting untuk dilakukan; 20% perbedaan berat tubuh dianggap masth dapat diterima.
            Bila telah tersedia donor jantung, sebuah computer akan di buka untuk menampilkan calon resipient berdasar kompatibilitas golongan darah ABO, ukuran donor dan kandidat, dan jarak antara donor dan potensial resipient ( jarak sangat penting karena fungsi jantung yang di transplantasi sangat dipengaruhi saat implantasinya, yang harus sebelum 4 jam setelah diambil dari donor ).
           
2.2.2.a Transplantasi Ortotopik
Transplan ortotopik adalah prosedur yang paling sering dilakukan pada transplantasi jantung sebagian atrium resioien (termasuk vena kava dan vena pulmonalis) ditinggalkan ditempatnya semula ; sisa jantung kandidat diangkat dari mediastinum. Jantung donor, yang biasanya telah diawetkan didalam es, disiapka untuk diimplantasikan dengan memeotong sebagian kecil atrium yang sesuai dengan bagian jantung resipient yang ditinggalkan. Jantung donor diimplantasikan dengan menjahitkan kejaringan atria yang tersisa dari jantung asli resipien. Arteri pulmonalis dan aorta kemudian dianastomose dan disambung.
(gbr 30-2 menyusul)
2.2.2.b Teknik Heterotopik
            Teknik heterotopik lebih jarang dilakukan. Jantung donor diletakkan disebelah kanan dan sedikit ke anterior jantung resipien ; jantung resipien tidak diangkat. Pada mulanya diperkirakan bahwa jantung asli masih bias melindungi pasien bila jantung transplant ditolak. Namun meskipun efek melindungi tersebut ternyata tidak terbukti, masih ada alasan untuk tetap mempertahankan jantung asli, yaitu apabila jantung donor kecil, waktu iskemik yang terlalau lama bagi jantung donor, atau bila jantung donor sudah sangat berkurang fungsinya namun tetap harus digunakan dalam keadaan darurat.
            Jantung transplan tidak mempunyai hubungan persyarafan dengan badan resipien ( jantung denervasi ); jadi syaraf simpatis dan vagus tidak mempengaruhi jantung transplan. Frekuensi jantung transplan pada saat istirahat sekitar 70-90 denyutan/menit, namun akan meningkat secara bertahap bila ada katekolamin dalam darah. Pasien harus secara bertahap meningkatkan dan menurunkan latihan ( waktu pemanasan dan pendinginan harus lebih lama ), biasanya diperlukan waktu 20-30 menit untuk mencapai frekuensi jantung yang diinginkan. Atropin tidak akan meningkatkan kecepatan jantung pada pasien ini.
 (gbr 30-3 menyusul)
2.2.3 Penolakan dan Infeksi
Tantangan terbesar dalam transplantasi adalah penanganan reaksi penolakan. Usaha tubuh untuk menolak jaringan asing merupakan proses biologis yang mendasar. Penemuan sikiosporin dan antibodi monoklonal telah banyak memperbaiki kelangsungan hidup setelah transpiantasi. Terapi imunosupresif dengan sikiosporin dapat dimulai sebelum operasi. Terapi imunosupresif tiga obat dengan azatioprin, siklosporin, dan steroid diberikan terus menerus setelah operasi. Pemantauan imunologis akan tandatanda penolakan dilakukan dengan ketat. Biopsi endomiokardium tramsvenosa adalah penentu pasti (standar emas) untuk deteksi dan diagnosis penolakan. Biopsi dilakukan dalam selang waktu tertentu dan sesuai indikasi. (Metode non-invasif untuk mendeteksi reaksi penolakan, seperti MRI dan ekokardiografi, masih diteliti) Teknik biopsi endomiokardium meliputi pemasangan kateter biopsi (atau bioptome) melalui vena jugularis dekstra atau vena subklavia ke dalam ventrikel kanan untuk mengambil beberapa bagian endokardium untuk analisis. Selanjutnya terapi imunosupresif dapat disesuaikan berdasarkan hasil biopsi.
Antitimosit globulin (ATG), antilimfosit globulin (ALG), atau antibodi-antibodi monoklonal OKT3 dapat ditambahkan untuk menangani reaksi penolakan. Selain reaksi penolakan, juga merupakan masalah serius akibat terapi imunosupresif. Infeksi merupakan penyebab utama kematian dalam tahun pertama setelah transplantasi. Untuk itu dilakukan pencegahan dan tindakan terapeutik yang tepat.
Perjalanan Pascaoperasi. Pasien transplantasi jantung harus tetap dijaga dalam keseimbangan antara risiko penolakan dan risiko infeksi. Mereka harus mcmaluhi aturan kompleks tentang diit, obat-obatan, aktivitas, pemeriksaan laboratorium. biopsi (untuk mendiagnosa penolakan) dan kunjungan ke klinik. Pasien sering diberi siklosporin dan kortikosteroid untuk meminirnalkan penolakan. Selain penolakan dan infeksi, komplikasi dapat mencakup percepatan terjadinya arteriosklerosis arteri koroner; hipertensi dan hipotensi; gangguan sistern saraf pusat, pernapasan, dan gastrointestinal (UI); gagal ginjal; dan respons terhadap stres psikososial akibat transplantasi organ.
Pasien transplantasi jantung dengan angka bertahan hidup 1 tahun sekitar 80% sampai 90% dan angka bertahan hidup 5 tahun sekitar 60% sarnpai 70%.
2.3 Coronary Artery Bypass Graft (CABG)/ Tandur Bypass Arteri Koroner (TBAK)
            Tandur bypass vena safena aortokoroner dilakuakan pertama kali pada tahun 1964. Sejak itu prosedur ini menadi tindakan yang diteriam untuk penyakit arteri koroner (PAK). Dibandingkan denga tindasan medis, tandur bypass arteri koroner (TBAK) telah membuktikan keefektifannya pada pengilangan angina dan memperbaiki toleransi latihan, dan ini memperpanjang hidup pada pasien dengan PAK kiri utama dan penyakit pembuluh darah-tiga dengan fungsi vebtrikel kiri buruk. Pada pengenalan angioplasty koroner transluminal perkutan (AKTP), namun indikasi utnuk TBAK masih dipertanyakan.
2.3.1 Tandur Vena Safena
            Vena safena atau arteri mamari internal (AMI) dapat digunakan untuk TBAK. Vena safena dpat diambil dari lutut atas atau bawah, tetapi dari bawah lutut secara umum lebih diminati karena sangat mendekati diameternya pada ukuran arteri koroner. Vena diambil dari insisi yang dibuat sepanjang aspek dalam kaki.
            Obstruksi pada arteri koroner di bypass dengan membuat anstomosis satu ujung vena tandur ke aorta (anastomosis proksimal) dan ujung yang lain ke arteri koroner tepat melewati obstruksi (anastomosis distal). Tandur vena safena dapat sederhana dengan anstomosis end-to-side ke aorta dan arteri koroner, atau berurutan (juga disebut skip), denga anastomosis end-to-side pada aorta, anastomosis side-to-side pada satu arteri koroner, dan anas tomosis end-to-side pada arteri koroner yang lain.
(gambar )
2.3.2 Tandur Arteri Mammari Internal
            AMI juga digunakan untuk revaskularisasi miokard. AMI adalah cabang ke dua dari arteri subklavia dan turun ke bawah dinding anterior pada dada tepat lateral terhadap sternum dibalakang kartilago kosta.
            Tandur AMI telah menunjukan derajat yang lebih kecil dari arterosklerosis selama ini pada awalnya dan friekuensi patensi tandur selanjutnya dibandingkan dengan tandur vena safena. Sembilan pulh persen tandur AMI paten selama 10 tahun pascaoperasi, sedangkan lebih dari 50 % dari tandur vena safena terhambat dalam 10 tahun. Tnadur AMI juga dihubungkan denagn morbiditas jangkan panjang yang rendah dan memperbaiki kelangsungah hidup jangka panang.
2.3.2.a Keuntungan Arteri Mammari Internal Untuk Revaskularisasi Miokard
·         memperbaiki patensi frekuensi jangka pendek dan panjang pada tandur vena safena
·         diameternya mendekati arteri koroner
·         tidak dibutuhkan anastomosis aortik
·         AMI mempertahankan inervasi sistem syaraf dan maka mempunyai kemampuan mengadaptasi ukuran untuk memberi aliran darah sesuai dengan kebutuhan miokard
·         Tidak ada insisi kaki jika menggunakan AMI
·         Endotelium vaskuler beradaptasi terhadap tekanan arteri dan aliran tinggi, mengakibatkan penurunan hiperplasia intimal dan atersklerosis.  
2.3.2.b Kerugian Arteri Mammari Internal Untuk Revaskularisasi Miokard
·         Diseksi AMI lebih panjang, mengakibatkan waktu bypass kardiopulmonal lebih panjang
·         Diseksi ekstensi dapat meningkatkan resiko perdarahan paska operasi
·         Memasuki ruang pleural, sehingga selang pleura dada diperlukan pada paska operasi
·         Nyeri paska operasi dapat meningkat karena masuk ke ruang pleural dan diseksi luas
·         Pada pasien dengan DM atau lansia, penggunssn AMI bilateral dapat meningkatkan resiko infeksi dan tidak menyambungnyaa sternum.
Untuk mengisolasi AMI, ruang preular dimasuki, AMI dideseksi bebas, dan cabang-cabang arteri intercostal dari AMI dikauterisasi. AMI digunakan sebagai tandur padikulus (misalnya ujung  proksimal masih dihubungkan  ke arteri subklavia), dan AMI kiri dan kanan dapat diggunakan. Karena AMI kiri  lebih panjang dan lebih besar dari pada AMI kanan, ini biasanya digunakan untuk bypass arteri koropner desendent anterior kiri (DAKi). AMI kanan dianastomosiskan ke arteri koroner kiri (AKKi) atau arteri koroner sirkumfleks (AKS).
2.4 Alat Bantu Mekanis dan Jantung Bantuan Buatan Total
Penggunaan pintasan jantung-paru pada pembedahan jantung dan kemungkinan dilakukan transplantasi jamung pada penyakit jantung stadium akhir telah rneningkatkan kebutuhan akan alat bantu jantung. Pasien yang tak mampu dilepas dan pintasan jantung paru atau pasien yang sedang berada dalarn syok kardiogenik dapat memperoleh keuntungan dari periode bantuan jantung mekanis. Alat yang paling sering digunakan adalah pompa balon ultra aorta (IABP - intra-aortic baloon pump). IABP nsengurangi kerja jantung selama kontraksi, namun tidak menyerupai kinerja jantung yang sebenarnya.
Alat dengan kinerja yang menyerupai sebagian atau scmua fungsi pemompaan untuk jantung juga sedang dikembangkan. Alat bantu ventrikel yang lebih canggih ini dapat mensirkulasi darah tiap menit seperti yang dilakukan jantung. Tiap alat bantu ventrikel digunakan untuk masing-mnasilig ventrikel. Saat ini yang paling sering digunakan adalah pompa sentrifugal. Banyak alat dorong pneumatis yang digunakan, dan basil klinisnya cukup menianjikan. Beberapa alat bantu ventrikel dapat dikombinasikan dengan oxvgenalor-ex!racorporeal membrane oxygenation (ECMO). Alat bantu kombinasi ventrikuler-oksigenator digunakan pada pasien yang jantungnya tak dapat memompa darah secara adekuat ke paru atau tubuhnya.

Jantung buatan total dirancang untuk mengganti kedua ventrikel. Jantung pasien harus diangkat untuk nmemasang jantung buatan total tadi. Semua alat-alat tadi masih dalam taraf ekspenimental. Janvik-7 telah mengalami keberhasilan jangka pendek, tetapi hasil jangka panjangnya cukup mengecewakan. Kebanyakan peneliti jantung buatan total berharap dapat mengembangkan alat yang dapat dipasang secara permanen dan yang akan dapat menggantikan kebutuhan transplantasi jantung donor manusia untuk penanganan penyakit jantung stadium akhir.

Alat bantu ventrikel dari jantung buatan total sekarang sedang digunakan sebagai penanganan temporer. sementara pasien menunggu jantungnya sendiri sembuh atau sampai tersedia jantung donor yang sesuai untuk ditransplantasi. Kelainan pembekuan darah, perdarahan, trombus, emboli, hemolisis, infeksi, dan kegagalan mekanis adalah beberapa komplikasi jantung buatan total dan alat bantu ventrikel. Asuhan keperawatan untuk pasien ini ditujukan tidak hanya pada pengkajian dan meminimalkan komplikasi tersebut. tetapi juga melibatkan dukungan emosi dan penyuluhan mengenai alat bantu mekanis itu sendiri.
(gambar)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Bedah jantung dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang. Tindakan pintasan jantung paru, transplantasi jantung dan CABG menggantikan fungsi  jantung yang rusak. Alat bantu mekanis dan jantung buatan total sangat menggantikan fungsi jantung.
3.2 Saran
            Pengembangan teknologi bedah jantung di masa sekarang semakin canggih. Teknik bedah jantung seperti Heart Surgery Robotic telah berkembang. Maka peningkatan kualitas dan pengembangan skill tenaga medis harus dilakukan untuk mengimbangi perkembangan teknik pembedahan khususnya teknik bedah jantung.


D A F T A R   P U S T A K A

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Gallo & Hudak. 1997. Keperawatan Kritis Volume I. Jakarta : EGC
R. Sjamsuhidajat & Wim de Jong. 2005. Buku-Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC